What’s On Your Mind

#soulǎяtist.150224

Duduk di dalam kereta menuju Malang, waktu menunjukkan pk. 15.19, sambil mendengarkan Silk Road karya Kitaro, pikiran ini entah mengembara tak menentu, seakan mencari ujung suatu ujung yang tak jelas ujungnya. Suasana mendung turut menemani perjalanan yang menambah daya seakan ada energi yang ingin keluar dari dalam. Energi entah lelah, entah muak, entah mimpi, entah ambisi, yang seolah menyatu ingin dibebaskan.

Berkecamuknya segala rasa menambah energi itu ingin melompat keluar.Tak dipungkiri, setiap pikiran membawa misinya masing-masing (jika tak mau disebut sebagai beban). Sebuah, bahkan beberapa buah misi yang mendorong setiap kita untuk memiliki kebebasan yang seringkali kita sandera sendiri berdasarkan situasi yang dialami. Pikiran yang seharusnya lepas, bebas, tapi sering kita izinkan terpenjara oleh misi, beban yang seharusnya tak perlu menjadi beban.

‘What’s on your mind…?’, apa yang ada dalam pikiranmu? Apa yang sebenarnya kita pikirkan? Apakah pikiran itu memang perlu dipikirkan? Apakah jika dipikirkan menjadi beban, alih-alih merupakan misi yang seharusnya dijalankan?Ya, memang manusia suka memikirkan yang seharusnya tak perlu dipikirkan, yang akhirnya membebani sendiri.

Manusia diberi karunia dan hikmat untuk memilah mana yang perlu dipikirkan, mana yang tidak. Mana yang perlu dipertahankan, mana yang perlu dilepas. Entah mungkin karena sifat dasar manusia, yang akhirnya membuat semua diboyong dan merusak ketenangan diri.

Belajarlah untuk membawa misi secukupnya, belajarlah untuk menerima bahwa tak semua misi harus dijalankan, ada kalanya hanya dapat dilakukan bertahap asal konsisten.Jujurlah pada diri sendiri, miliki saluran untuk mengekspresikan diri agar beban itu terbagi. Yang terpenting kuasai diri, karena seseorang yang sabar mampu menguasai diri & melebihi orang yang merebut kota.

Kowe ngerti mumet? Ojo melu-melu, kowe ra bakal kuat, aku ae njepat og!

Satu Sisi

Satu Sisi
#soulaяtist.150718

Sering kita terjebak melihat suatu fenomena hanya dari satu sisi. Minggu siang di sebuah tempat makan, seorang ayah memangku bayi yang kira-kira berusia kurang dari 1 tahun. Sambil memangku bayi yang sedang menangis, si ayah asyik memegang HP entah sedang apa. Saya langsung ‘menghakimi’ dalam pikiran bahwa si ayah payah, anak nangis malah main HP. Tiba-tiba saya diingatkan, apa hak saya menjudge kalau si ayah main HP? Mungkin dia sedang menghubungi istri / anggota keluarga yang entah sedang belanja.

Begitulah manusia, suka menilai orang lain dari satu sisi. Memaksakan pikirannya yang belum tentu benar, pada kejadian sesaat yang dilihat. Parahnya lagi kalau ia memviralkan satu sisi pikirannya tanpa melakukan kroscek malah melakukan premature judgement, yang menjadi salah satu penyebab pembunuhan karakter karena memviralkan satu sisi pikiran yang belum tentu benar; dan ini sering kita lakukan. Betul?!

Sebuah hal yang benar dapat salah karena ulah kita yang seenaknya menghakimi perilaku orang dari satu sisi pikiran. Yang salah menjadi semakin salah karena satu sisi pikiran pula. Sangat perlu agar kita tak sembarang menilai perilaku orang, karena pikiran kita bisa salah.

Sadari bahwa pikiran kita dapat menjadi sumber petaka bagi orang lain bila kita tak mau mengubah cara pandang dengan memperluas wawasan. Sayangnya banyak orang malas memperluas wawasannya sehingga membuat dunia berpikirnya sempit, yang akhirnya mudah percaya berita tak jelas & mudah menghakimi satu situasi dari satu sisi.

Di sinilah pentingnya tidak berkumpul dengan para pencemooh, pentingnya berada dalam komunitas yang berani menasihati walau pahit, tapi dengan akhir yang manis bagi mereka yang mau dinasihati; agar tidak merasa paling benar yang akhirnya menjadi bebal.

Bagi yang mudah langsung menilai satu situasi tanpa mengetahui kebenarannya, hentikan sekarang juga. Jangan menjadi petaka bagi hidup orang lain. Kita pun tak luput dari salah & hukum tabur tuai tetap ada. Siapa yang tak pernah bersalah, silahkan hakimi hidup orang lain lebih dulu.

Etika

Etika

#soulaяtist.010718

Pake etika dong kalo ngomong.

Kelakuanmu ngga ber-etika!

Begitu mudah orang ngomong etika, nyatanya masih aja ada yang tak ber-etika tapi gembar-gembor tentang etika. Buang sampah sembarangan, ketika banjir pemerintah yang dicibir. Tidak mengucap salam & terima kasih, tidak minta maaf saat melakukan kesalahan. Memaki mengumpat di publik. Orang lain yang telpon malah nanya ke yang ditelpon “kamu siapa?” Kan somplak coy! Kemarin  ada yang WA saya menanyakan apakah ada lowongan kerja tanpa memperkenalkan diri.

Berasal dari kata Yunani kuno, ethikos (timbul dari kebiasaan), artinya etika dibentuk dari kebiasaan yang dilatih sejak lama. Kita bisa membentuk kebiasan / kebiasaan yang membentuk kita. Etika dibutuhkan untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Tapi karena kurangnya diajarkan etika sejak dini, orang tak lagi mencari tahu apa yang benar & tidak. Yang penting keinginannya terpenuhi & ngga peduli dengan orang lain! Lalu muncullah manusia zombie yang dibentuk tanpa etika & rasa bersalah.

Orang yang menghargai diri sendiri cenderung memerhatikan perasaan orang lain & apa yang orang lain akan pikirkan bila berkelakuan tak semestinya. Tapi bagaimana orang bisa mengetahui etika bila tak ada yang mengajarkan. Bagaimana akan ada yang mengajarkan bila ia sendiri tak mau peduli dengan sesama. Bagaimana bisa peduli dengan sesama bila ia sendiri tak mau mencari tahu tentang etika.

Penting bagi setiap generasi sejak dini menanamkan etika & sopan santun, bukan hanya mengejar angka, harta & tahta. Belajar menjadi manusia ber-etika yang tak hanya fokus pada egonya. Belajar mendengar & memahami kebutuhan orang akan membantu membuka cakrawala sudut pandang yang lebih luas untuk dapat memahami kebutuhan orang lain.

Jika Tuhan menciptakan kita dengan dua telinga & satu mulut, mungkinkah kita memang seharusnya lebih banyak mendengar ketimbang bicara?

Anda membentuk kebiasaan manusia ber-etika atau dibentuk oleh kebiasaan yang tak beretika?

Apa Yang Dicari? 


Apa Yang Dicari?

#soulaяtist.060218

Apa yang sebenarnya manusia cari selama hidup?

Kebahagiaan? Ga perlu dicari, karena kebahagiaan adalah pilihan, bukan sebab akibat suatu kepemilikan.

Harta? Ga usah juga, karena harta yang terbesar & tak ternilai ialah tubuhmu. Mau ngga sekarang jual jantungmu seharga 10 milyar? Jadi kenapa pusing bilang ga punya harta, materi? Hal itu dicari oleh mereka yang tak pernah mensyukuri apa yang mereka miliki saat ini.

Tahta, jabatan? Ga usah juga, toh mati ga perlu pake gelar. Paling orang yang baca nisanmu aja yang tau gelarmu. Selebihnya engkau hanya kerangka yang tak bermanfaat.

Apalagi yang kau cari? Pasangan? Kelak juga akan berpisah oleh maut.
Jadi apa yang manusia cari dalam hidup? Hanya perkenanan Tuhan. Percuma hidup bergelimang harta, tahta & semua ta ta yang lain, kalau hidupmu tidak berkenan di hadapan Tuhan. Pergi ibadah karena kewajiban takut dosa. Pulang ibadah tetap melakukan hal-hal yang tidak berkenan bagi Tuhan.
Hidup ini hanya untuk mencari apa kehendak Tuhan, yang IA mau untuk kita lakukan semasa hidup, selain hanya menyenangkan hatiNya.

Bagaimana bisa menyenangkan hatinya? Hidup akrab denganNya, dalam setiap apa yang akan dilakukan, minta penyertaanNYA. Saya semakin diingatkan bahwa nafas ini bisa selesai kapan saja. Mengejar hadiratNya, itu yang terus saya upayakan walau kadang masih jatuh bangun kayak lagunya Meggie Z.
Maaf bukan menggurui siapapun. Karena sudah saatnya kita kembali pada ‘fitrah’Nya, suci, seperti awal penciptaan manusia. Selagi masih ada kesempatan, dekati Dia selama Ia masih berkenan untuk dijumpai. Karena ada saatnya kelak manusia tidak lagi mendapat anugerahNya jika manusia terus mendukakan hatiNya & Roh Kudus.
(musium barli, selasa 060218, 1912)

Belakang 

Belakang

#soulaяtist.051117
Kita ngga pernah bisa melihat belakang kepala sendiri tanpa cermin. Sulit untuk melihat ada apa saja di bagian belakang kepala tanpa bantuan orang lain..kecuali bisa mencopot mata untuk melihat bagian belakang kepala & tubuh kita. Jadi untuk melihat bagian belakang tubuh, kalau ngga ada cermin, mutlak kita butuh orang lain.

Kita butuh orang lain untuk melihat apa yang di belakang kita agar tahu apa yang harus diperbaiki. Sebagai korektor positif, bahkan mendorong kita untuk maju. Melindungi dari belakang, memberi support untuk terus maju & berkembang. Ada pula mereka yang di belakang kita yang kerjanya mengkritik, menghakimi, memberitahu ke orang lain tentang kekurangan diri kita yang seharusnya diberi masukan untuk diperbaiki -ini malah diumbar ke yang tidak berkepentingan.
Jadi ada dua macam orang yang berada di belakang kita.

Pertama mereka yang mensupport, baik secara langsung atau melalui doa -yang pasti dari keluarga, sahabat & mereka yang tulus hati. Wajar mereka di belakang kita untuk menjaga, mengarahkan & mensupport hidup. Kepada mereka kita harus berterima kasih karena kita ada di depan berkat mereka.

Kedua ialah mereka yang iri dengan kemajuan kita. Wajar mereka di belakang karena mereka masih memiliki luka batin yang tak disembuhkan, sehingga mereka pun sulit berkembang. Berterima kasihlah pada mereka karena kita tahu perilaku itu tidak baik & tak perlu ditiru. Ga usah membenci, cukup doakan agar kelak mereka bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
Hadirnya kedua orang itu ialah cara Tuhan membentuk kita menjadi pribadi yang lebih matang.

Orang yang kuat bukanlah orang yang berotot, melainkan orang yang mampu bertahan ketika dibentuk Tuhan.
So, Anda termasuk tipe yang pertama atau kedua?

Yang memberi support & membuat orang lain berkembang, atau kaum yang hanya bisa mengkritik orang, keadaan & merasa kegagalan hidup disebabkan oleh lingkungan?

Ketika Kita Menolak Tuhan

Ketika Kita Menolak Tuhan

#soulaяtist.031117

 

Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku – Lukas 7 : 23

 

Sebagai orang tua, bagi Anda yang sudah memiliki anak tentu ingin anak Anda mengingini Anda sebagai orang tuanya. Ingin agar anak dekat, mendekat –bukan menjauh dan menghindari Anda sebagai orang tua nya. Berbagai upaya tentu akan dilakukan agar anak dekat dengan orang tuanya, dan ada kesedihan saat anak tidak mau mendekat bahkan menghindari orang tuanya. Sekalipun demikian, sebagai orang tua yang benar tentunya tidak menumbuhkan rasa benci dan dendam akibat aksi penolakan anak terhadap Anda sebagai orang tua nya. Sekalipun anak tidak mau dekat dengan orang tua, sekali lagi sebagai orang tua yang benar, tentu akan tetap mencintai dan mengasihi mereka walaupun mengalami kekecewaan.

 

Sobat, tahukah Anda bahwa kita pun sebagai anak seringkali menolak Tuhan.

Bukan menolak menyatakan tidak percaya Tuhan itu ada.

Bukan menolak membenci Tuhan.

Tetapi menolak untuk mau mendekat kepadaNya, mengenal DIA lebih dalam, memahami apa kehendak dan rencana yang IA inginkan bagi kita.

 

Sebenarnya saat kita menolak Tuhan, kemudian hidup menjadi tidak terarah, itu bukan salah Tuhan yang tidak mau menarik kita kembali kepadaNya. Tapi hidup kita yang terlalu bebal untuk mau mengakui bahwa kita membutuhkan Tuhan melebihi apa pun yang ada di dunia ini.

 

Aksi penolakan kita didasari karena kita terlalu lelah untuk berjalan menghampiriNYA. Kita terlalu letih untuk duduk bersimpuh menyerahkan beban pikiran. Segala beban yang tak mau diserahkan itulah yang akhirnya menundukkan kita pada keletihan dan membuat menjauhiNYA. Iblis menang, karena itu memang siasat yang dilakukan agar kita terlalu letih lesu lelah dengan semua beban pikiran yang tak mau ditundukkan dan diserahkan ke hadapan Tuhan.

 

Boleh saja kita rajin beribadah dan setiap hari membaca Firman-NYA. Setiap saat menghadiri kegiatan-kegiatan kerohanian, tetapi apakah tujuannya? Hanya sekedar membuktikan kita beragama? Hanya sekedar mengisi kekosongan diri? Atau motivasi lainnya? Atau benar-benar ingin mengenal kehendak dan pribadiNYA, agar kita bisa mengakui bahwa tanpa TUHAN kita bukanlah apa-apa!

 

Kekecewaan manusia yang memiliki masalah bukanlah kekecewaan pada Tuhan. Tetapi kekecewaan pada diri sendiri dan keletihan emosi yang memicu orang berjalan sendiri tanpa tuntunan Tuhan yang sanggup melepaskan semua beban kita –kalau kita MAU menyerahkannya kepadaNYA.

 

Dari rasa kesepian, keletihan, lelah rohani itulah akhirnya membuat kita terlalu lelah untuk menghampiri Tuhan melalui doa. Dan kehidupan yang tanpa doa rentan sekali dengan tumbuhnya rasa kecewa yang dianggap Tuhan membiarkan anakNYA berjalan sendiri, dan muncullah kemudian kecewa terhadap Tuhan. Padahal Tuhan sudah jelas tak pernah mengecewakan kita, IA tetap setiap walaupun kita tidak setia (2 Tim 2:13)

 

Tuhan selalu mencari anak-anakNYA yang menghilangkan diri, selalu menunggu dengan tangan terbuka untuk mengenakan pakaian kebesaranNYA sebagai anak-anakNYA, Ia ingin menatang kita dengan tanganNYA, membasuh segala luka dan kesedihan kita. Tapi Tuhan tidak dapat melakukannya jika kita sendiri masih menggenggam dan mendekap erat semua beban itu. Dengan semua beban yang didekap itu, akhirnya memperlambat langkah kita dan akan letih berlari mengejar langkah Tuhan. Lalu kita menganggap Tuhan jauh meninggalkan kita. Tidak! Kitalah yang terlalu lambat berjalan bersamaNYA. Bahkan kadang Tuhan ingin menggendong kita agar dapat berlari mengejar kehendakNYA. Tapi cara seperti itu tidak lantas membuat kita kuat untuk berlari di kemudian hari.

 

Jadi terkadang IA memang membiarkan kita berlari agar kaki kita kuat, karena semakin tinggi level yang IA persiapkan, menuntut kekuatan iman yang lebih dari hari ini.

 

So, apakah Tuhan yang menolak kita?

Mari pikirkan kembali sebelum mulut dan hati kita terlalu cepat menjudge bahwa Tuhan yang menolak kita.

-- 

to your unlimited success
best regards,
yulius shandy w
#soulartist

Duc In Altum

Duc In Altum

#soulaяtist.130617

 

Duc In Altum (latin), mengayuhlah ke air yang lebih dalam.

Begitulah kira-kira artinya.

 

Bagi yang pernah berlayar atau minimal naik perahu, kapal –besar maupun kecil-, suasana lebih menyenangkan ketika perahu melaju semakin ke tengah lautan. Kalau di daerah taman laut, kita dapat menyaksikan aneka ragam mahluk bawah air dan bahkan pemandangan yang lebih menakjubkan. Termasuk merasakan guncangan ombak, angin laut, terik matahari dan hal-hal lain yang tak dapat dinikmati saat berada di tepian pantai atau dermaga. Namun untuk menuju ke tempat yang lebih dalam tentu berisiko. Laut lebh dalam, angin lebih keras, jauh dari daratan dan ombak lebih besar. Tapi bukankah hal-hal tersebut yang menciptakan pelaut ulung?

 

Bagi sebagian orang, mengayuh ke tempat yang lebih dalam begitu mengerikan, padahal mereka belum pernah berada di tempat tersebut. Atau sudah pernah berada di sana dan tidak sanggup menghadapi terjangan ombak atau mungkin badai. Mengapa? Otot-otot mental mereka tidak dilatih menghadapi perubahan ekstrim. Pikiran-pikiran sudah diatur sedemikian rupa hanya untuk menghadapi riak-riak kecil di tepi pantai, dimana ketika ada ombak menghempas ke pantai mereka berlari sambil tertawa girang. Kegirangan itulah yang membuat mereka nyaman di pinggiran dan bermental pantai.

 

Para penikmat deburan ombak bisa jadi enggan untuk mengayuh ke tengah laut yang menjauh dari pantai. Takut kehilangan kenikmatan, keceriaan bermain bersama pecahan ombak, takut susah pulang dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan pelaut ulung lebih memilih menjadi pejuang lautan dan badai, karena mereka bisa menikmati peperangan mental tersebut dengan risiko mati sekalipun. Setidaknya mereka yang mati dalam perjuangan, pernah merasakan menjadi pejuang dan mati ‘terhormat’ dalam berjuang.

 

Tidak mudah untuk melangkah menjadi pejuang, tapi ketika sudah mulai melangkah mendayung, ketika sensasi terpaan angin dan ombak menampar tubuh di tengah laut, mau tidak mau para pejuang itu harus bergerak cepat; berlomba siapa yang lebih tahan menghadapi badai dan setan laut. Siapa yang berdiri terakhir, dialah pemenangnya. Kala itu terjadi, maka saat menghadapi badai berikutnya ia sudah lebih siap karena memiliki bekal peperangan di musim sebelumnya.

 

Sulitkah untuk menjadi pejuang di tengah lautan badai?

Tidak –ketika kita mengatur mental dan pikiran kita untuk menjadi pejuang.

Kalau kita mau menjadi pejuang, kita harus memiliki mental pejuang dan berpikir sebagai pejuang, dan menghidupi mental pejuang.

Lebih baik merasakan pernah melaut melawan ombak-badai-angin, dan bahkan pernah hampir tenggelam, atau mungkin terluka, daripada meratapi nasib menatap lautan lepas dan menyesal hanya berdiri di pantai dengan tubuh utuh. Setiap perjuangan memiliki kisah tersendiri yang kelak dapat menginspirasi orang lain, karena hidup yang demikianlah yang lebih bermakna. Orang dapat melihat saksi hidup seorang pelaut pejuang kehidupan, dan mungkin saja pengalaman Anda benar-benar memotivasi orang untuk memotivasi orang lain juga. Dari sini lah nama Anda akan abadi walau jasad sudah menyatu dengan bumi.

 

I am on my journey…

With my work,

My explorations,

And a few sad stories.

I travel with a suitcase full of outrageous blessings.

I am on a quest for truth, beauty and quiet joy.

I am an artist, a writer, an explorer.

ducinalutm

Melebur

Melebur
#soulǎяtist.050716

Sebongkah es kecil jatuh bergabung dengan bongkahan es lainnya di dalam segelas es teh manis di depan saya. Tidak ada yang istimewa dari peristiwa kecil ini. Toh sebentar lagi es itu akan melebur bercampur dengan rekannya yang sudah lebih dulu mencair dalam air.

Seorang pengunjung warung nasi tampak berusaha akrab berbincang dengan tukang masak yang tampaknya sudah saling kenal. Wajah tanpa ekspresi si tukang masak, yang belum ber-buka puasa, tidak mengganggu hasrat saya menanti nasi goreng pesanan selesai.

Seorang bapak polisi duduk di meja sebelah, menelpon rekannya setelah selesai makan. Di depan warung makan ini, tidak ada kegiatan spesial, padahal malam ini bulan puasa selesai dan besok masuk masa lebaran. Semua lebur dalam desah yang tersisa, tanpa kecuali pengamen angklung. Tapi mungkin hanya desah yang saya rasakan sendiri dalam satu masa yang tersisa.

Malam takbiran pun terasa masih sepi. Dan saya kembali menghantarkan kaki menelusuri jalan dari warung depan stasiun sampai alun-alun. Perjalanan kecil yang membawa ingatan masa kecil akan alun-alun yang dulu semrawut, kini bersolek indah berhadapan dengan Masjid Agung Kota Tegal.

Malam ini semua kembali lebur dalam satu asa, bahwa esok akan lebih baik. Esok semua duka lara, kekesalan, kekecewaan, dan luka hati, dilebur kembali. Seperti bayi yang baru lahir, suci, tulus, polos. Membuka lembaran baru walau entah esok apa yang terjadi.

Semakin malam, jalanan semakin ramai, bukan hanya para pengunjung, juga gema takbir melebur bersama angin yang membawa suara itu di tepi-tepi jalan, bahkan di sela stasiun.

Sebagian lagi menutup warung lebih awal, agar kegembiraan bersama keluarga bisa cepat melebur. Mempersiapkan diri menghadapi esok, sekali lagi, menyongsong asa baru.

Meleburlah dalam ringkasan masa yang berlaku singkat. Melebur bersama insan yang tak lagi mempersoalkan besok makan apa; yang terpenting adalah melebur dalam puncak sukacita. Meleburlah dalam perbedaan, karena itu pula sebuah sukacita yang menggambarkan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.

Meleburlah bersamaku..dalam asa esok hari, karena es dalam gelasku pun sudah melebur, tanpa risau bertanya kemana mereka pergi…

#DiSudutKotaTegal

Baju Dosa

image

Baju Dosa
#soulǎяtist.280616

Buka puasa sore tadi, saya diajak rekan di Solo makan sate di depan Stasiun Solo Balapan. Dengan masih menggunakan seragam yang baru dipakai hari ini, kami pun masuk rumah makan sate. Disambut asap bakaran yang mengepul, saya pun pasrah, karena baju pasti bau asap. Baju seragam yang awalnya akan dipakai lagi besok, harus menerima nasib untuk diistirahatkan sejenak hingga dicuci.

Sampai mess, saya coba baui lagi untuk memastikan seragam saya besok masih layak pakai atau tidak. Jawabannya sudah pasti : TIDAK. Bajunya sudah bau asap. Terpaksalah besok ganti pakai seragam baru.

Begitulah kira-kira mengenai dosa manusia. Awal masuk ke dalam suatu perbuatan dosa, sebenarnya manusia itu sadar. Sama seperti saya masuk ke rumah makan itu, sudah tahu pasti baju akan berbau asap. Tapi karena penasaran & ingin merasakan, maka manusia menjerumuskan diri, mencobai dirinya menikmati asap bakaran dosa itu.

Kelar?
Tidak!
Keluar dari tempat itu, mungkin manusia lain tidak mengetahui dosa apa yang baru saja kita lakukan. Tapi tahukah Anda? Tentu tidak tahu kan, karena saya belum menuliskan lanjutannya…
Tahukah Anda, bahwa meski se-selesainya berbuat dosa kita menyucikan diri, tetapi efek dosanya masih menempel. Seperti bau asap di seragam saya. Sebelum dicuci, ya akan terus bau.

Lalu setelah dicuci apakah masalahnya selesai?
Tidak, jika kita mengulanginya lagi, hingga bau asap baju tadi, hingga perasaan bersalah akibat melakukan dosa itu sudah hilang dari sanubari kita.
Itulah dosa, yang awalnya menjanjikan kenikmatan, tetapi lama-kelamaan kalau tidak segera mentas, keluar, kita menjadi terbiasa dengannya. Bau pun tidak lagi dirasakan. Tak ada lagi rasa bersalah, yang ada pemakluman, lumrah.

Ketika ke-lumrah-an itu sudah melekat, maka tiada satu mahluk pun yang mampu mengembalikan kita ke jalan yang benar. Kalau pun ada, seperti usaha menjaring angin, sia-sia. Sang pendosa pun lebih sia-sia lagi dalam upaya pertobatannya, selama dia tidak menyadari bahwa dia sudah berbuat dosa.

Tak usah bertanya apa ukuran dosa. Semua kelakuan yang menyimpang dari titah Sang Khalik, pastilah dosa, sekecil apapun tetaplah dosa. Mencuri 100 rupiah dengan 1 juta, dosanya sama. Karena yang dihitung bukan jumlahnya, tetapi sudah melanggar titah untuk tidak mencuri.

Berzinah sekali dengan berkali-kali, dosanya sama. Sekali lagi bukan berapa banyak kali berzinah, tapi berzinah apapun alasannya sudah merupakan dosa.

Semua yang melanggar titah-Nya jelas-jelas dosa. Tapi ada yang sadar dan segera bertobat; ada yang makin menggali lubang kubur sendiri hingga kelak tertempelak sendiri oleh Sang Khalik.

Pertanyaan saya, apa saja dosa yang tanpa sadar atau bahkan disadari kita lakukan? Kalau hati nurani mengatakan tidak, ikuti suara itu. Karena hati nurani seringkali perwakilan Sang Khalik di dalam diri kita.

Kalau sudah tahu baju Anda bakal bau, jangan mencoba masuk tempat berasap yang pasti meninggalkan jejak di baju Anda. Itulah perumpamaan dosa dalam bungkus baju.

Setuju atau tidak dengan tulisan ini, itu bukan urusan saya.

Jangan ada kompromi dalam melanggar aturan Tuhan; karena tidak ada cara yang benar untuk melakukan kesalahan.

#WismaLawuSoloBalapan

Ambulans Zigzag

image

Ambulans Zigzag
#soulǎяtist.290316

Bukan judul lagu Iwan Fals. Hanya terlintas dalam pikiran saat pening kepala memecah konsentrasi mengemudi di tol. Di depan saya ada ambulans yang mengiringi konvoi tentara, yang mengingatkan game masa-masa Atari, Nintendo masih berjaya. Dimana si pemain balapan zigzag menghindari mobil di depannya, yang kadang ada ambulans zigzag. Kadang ambulan penolong pun tertabrak atau sengaja ditabrak.

Pun di kehidupan, kita kadang justru menabrak sang penolong yang kita anggap menghalangi laju jalan kita. Begitu pongahnya manusia, sehingga menganggap tak perlu bantuan. Dan parahnya lagi, Sang Penolong itu adalah Sang Khalik.

Seberapa sering kita menampik bantuanNya, yang ‘tidak sesuai selera’ kita? Padahal bisa saja itu bantuan yang diberikanNya untuk menolong.

Egoisme manusia di sisi lain menjadikannya sosok yang rakus & tak tahu berterima kasih. Semua bertujuan memakmurkan diri sendiri sehingga manusia menjadi rapuh karena selalu berkaca pada dirinya. Lupa bahwa mahluk lain pun turut berperan memakmurkan kita, sebagai penolong yang di-kasat mata-kan oleh kita.

Selama manusia masih memikirkan dirinya, ia takkan menjadi penolong bagi orang lain, bagi sesamanya. Bahkan setelah ditolong, bisa pula diklaim itu hasil jerih keringatnya yang bertetesan darah, abaikan sang malaikat tanpa sayap.

Orang yang tak pernah mau belajar apapun selama kehidupannya, orang yang selalu dimanja, orang yang senang merendahkan dirinya; menjadi mereka yang sulit berkembang. Pertolongan kadang ditampik dengan alasan ini itu.

Sebuah ambulan di dalamnya memiliki banyak peralatan pertolongan. Manusia pun pada dasarnya memiliki kemampuan seperti sang ambulan. Kita bisa merasakan yang dialami orang lain, ketika kita pernah mengalaminya. Dan itu sebuah pertolongan yang lebih dari cukup. Tapi masih pula dicemooh dengan berbagai omelan yang akhirnya membuat sang penolong pergi.

Sadari, bahwa setiap manusia ialah penolong bagi sesamanya, dalam berbagai wujud dan bentuknya. Ada mereka yang sering menyakiti kita, bahkan menikam; tetapi mereka juga merupakan penolong agar kita menyadari tak perlu menjadi seperti dia. Kita belajar lebih mengasihi & tidak menyakiti.

Kejadian yang kita anggap buruk bisa menjadi sarana menjadikan diri bijak, tanpa perlu kursus. Karena sekolah untuk menjadi penolong & menyadari ketidakegoisan, sudah kita alami sejak lahir sampai mati. Sekolah kehidupan yang bersifat universal.

Jadi, apabila Anda mengalami kejadian buruk, bahkan baik, ingatlah, bahwa ada sang penolong tanpa sayap, bahkan Sang Penolong itu sendiri yang membantu Anda tetap bangkit & mampu tersenyum.

Jangan abaikan siapapun, apapun, kisah apapun yang bergulir di sekitar Anda. Karena tak ada kejadian yang kebetulan yang terjadi. Itu pula yang menolong kita menyadari adanya Tuhan.

Jangan singkirkan ambulan zigzag, berilah mereka jalan, karena siapa tahu Andalah yang akan ditolong berikutnya.